JENDELAINDO - Dalam upaya merespons tantangan kebangsaan dan zaman yang kian kompleks, Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Banjarnegara menggelar sarasehan bertema “Warisi Apinya, Bukan Abunya”.
Kegiatan ini menjadi momentum reflektif bagi kader-kader GMNI, untuk mengaktualisasikan nilai-nilai Pancasila sebagai landasan perjuangan ideologis, dan sosial dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kegiatan yang berlangsung di Gedung DPC PDI Perjuangan Banjarnegara pada Kamis (11/6) ini, dihadiri kurang lebih 100 mahasiswa perwakilan dari 3 Kampus yang ada di Kabupaten Banjarnegara dan 1 Wonosobo, diantaranya adalah STIE, STIMIK dan Politeknik.
Sarasehan ini menekankan pentingnya peran Pancasila, tidak hanya sebagai dokumen normatif negara, namun sebagai filosofi hidup dan panduan gerak yang dinamis.
GMNI, sebagai organisasi kader dan perjuangan yang berhaluan Marhaenisme, menegaskan kembali posisinya dalam menjaga nyala semangat perjuangan Bung Karno, bukan sekadar mengenang sejarah, tetapi menerjemahkannya dalam tindakan nyata yang kontekstual.
Ketua Persatuan Alumni (PA) GMNI Banjarnegara, Wahju Djatmika, Al.bs, SE, menjelaskan bahwa semangat Bung Karno harus dilihat dalam konteks kekinian, khususnya dalam membangun kesadaran kolektif terhadap pentingnya persatuan dan pembangunan yang progresif serta revolusioner.
“Kita harus bisa melihat semangat Bung Karno dalam konteks kekinian, sebagai semangat menjaga keutuhan Republik dan mengisi pembangunan dengan pemikiran yang progresif,” ujarnya.
Lebih jauh, Djatmika menegaskan pentingnya sikap kritis dalam setiap lini kehidupan. “Kekritisan itu penting, mulai dari lingkungan terkecil kita, keluarga, apakah ada permasalahan gizi, pendidikan, lalu berkembang ke isu sosial yang lebih luas,” jelasnya.
Baginya, kekritisan bukan untuk mencela, melainkan mendorong partisipasi aktif dan gotong royong dalam membangun. Hal ini sejalan dengan tanggung jawab moral alumni GMNI, untuk terus membesarkan organisasi dan membimbing kader muda GMNI, khususnya di Banjarnegara.
Proses kaderisasi GMNI dilaksanakan secara sistematis melalui tahapan PPAB (Pendidikan dan Pelatihan Anggota Baru) hingga KTD (Kaderisasi Tingkat Dasar).
Dalam proses ini, kader GMNI dibentuk untuk memiliki kesadaran ideologis, kemampuan analisa sosial, dan keterampilan advokasi melalui terjun langsung ke masyarakat.
"Mayoritas GMNI di Banjarnegara ini adalah produk politik KIP yang diberikan oleh Ketua DPR RI, Puan Maharani. Melalui GMNI, mereka ditempa untuk mengenal nasionalisme dan mencintai tanah airnya secara lebih mendalam,” tambah Djatmika.
Selain itu, GMNI juga terlibat dalam kajian pengelolaan sampah di lima kecamatan yang ada di Kabupaten Banjarnegara. Pendekatan yang diusung bukan lagi penimbunan, namun pengolahan berbasis teknologi dan partisipasi masyarakat.
Wahju Djatmika menyebutkan, sistem ini mencontoh pengelolaan sampah di Pandowoharjo (Yogyakarta) dan Banyumas yang sudah menghasilkan nilai ekonomi.
“Kesadaran akan pentingnya pengelolaan sampah ini, harus ditanamkan sejak dini dan dilakukan secara kolektif, bukan hanya oleh pemerintah, tetapi seluruh elemen masyarakat,” tegasnya.
Bergerak di Luar Narasi Kekuasaan
Menanggapi kinerja 100 hari Pemerintahan Bupati Banjarnegara saat ini, Djatmika menegaskan bahwa GMNI tidak terpaku pada narasi kekuasaan. Gerakan GMNI akan tetap berjalan berdasarkan kebutuhan riil masyarakat.
“Kami tidak peduli 100 hari, 200 hari, atau 300 hari. Selama ada ketimpangan, selama stunting masih tinggi, selama IPM masih rendah, GMNI akan terus bergerak. Karena ukuran keberhasilan pemimpin bukan pada seremoni, tapi pada keberpihakan terhadap rakyat,” jelasnya.
Djatmika juga menyerukan pentingnya ruang diskusi terbuka, antara pemerintah daerah dan seluruh pemangku kepentingan untuk menyelesaikan berbagai permasalahan krusial di Kabupaten Banjarnegara.
“Jika pemerintah menutup diri, itu hak mereka. Tapi kami akan terus berjalan. Karena menjaga NKRI bukan hanya tugas bupati dan wakil bupati saja, tapi tugas kita semua,” pungkasnya.